SUNSET
Hasil riset tentang matahari terbit dan terbenam dilakukan Alexander J Smalley dari University of Exeter Medical School, Inggris, dan Mathew P White dari University of Vienna, Austria. Tulisan mereka dipublikasikan dalam Journal of Environmental Psychology pada 10 Januari 2023.
Dalam penelitian berjudul ”Beyond Blue-sky Thinking: Diurnal Patterns and Ephemeral Meteorological Phenomena Impact Appraisals of Beauty, Awe, and Value in Urban and Natural Landscapes”, mereka menyebut peristiwa matahari terbit dan terbenam sebagai peristiwa efemeral (sementara) yang bermanfaat.
Peristiwa efemeral berupa matahari terbit dan terbenam mempunyai dampak besar pada penilaian kita tentang lanskap. Selama ini, pemandangan alam dinilai lebih unggul dibandingkan pemandangan perkotaan. Namun, dengan adanya matahari terbit, matahari terbenam, dan beberapa fenomena sesaat lain seperti pelangi, membuat skala keunggulan itu berubah.
Riset dilakukan pada 2020 secara daring terhadap 2.500-an responden. Usia responden terbanyak berkisar 18-55 tahun, dan 51 persen responden adalah perempuan.
Semua responden diminta untuk menilai enam gambar, yaitu foto matahari terbit, langit biru, petir, pelangi, matahari terbenam, dan malam hari. Penilaian diberikan menggunakan skala angka.
Enam peristiwa itu terjadi di dua lokasi, yaitu di alam terbuka dan di perkotaan. Responden ditanya terkait kecantikan, kekaguman, dan kesediaan membayar untuk mendapatkan pengalaman menikmati foto yang ditampilkan.
Dari riset tersebut, secara umum sebagian besar orang menyatakan lanskap alam terbuka memiliki keunggulan. Namun, bukan berarti wilayah perkotaan tidak memiliki keunggulan. Disebutkan, sunrise ataupun sunset, justru menjadi momen unggulan di perkotaan. Bahkan, dua momen itu keindahannya dinilai melebihi keindahan langit biru.
Begitu berharganya momen matahari terbit dan terbenam bahkan membuat para responden mengatakan bersedia membayar sejumlah uang untuk bisa menikmati pengalaman menyaksikan momen sesaat itu.
Terapi
Di luar keindahan yang disuguhkan, lebih dari itu, semburat matahari terbenam juga memberi manfaat lebih besar. George William Burns, psikolog klinis sekaligus Direktur Milton H Erickson Institute of Western Australia, menjadikan momentum matahari terbenam sebagai salah satu fenomena efemeral yang digunakan untuk terapi psikologis.
Penelitian itu kemudian ditulis Burns dalam buku berjudul Nature Guided Therapy (1998). Di sini, Burns menggunakan terapi berpaduan alam, misalnya untuk menangani kasus sepasang suami istri yang tak juga menemukan ketenangan meski keduanya menjelajah dari satu negara ke negara lain. Burns mengajak kliennya menyelisik lebih dalam kebiasaan mereka berdua melalui inventarisasi kesadaran sensual (SAI).
Ada beberapa hal diperlukan dalam analisis ini, yaitu penglihatan, suara, bau, rasa, sentuhan, dan aktivitas yang disukai atau membuat nyaman klien. Setiap kategori itu berisi 10-20 hal yang disukai klien. Pemetaan ini dilakukan untuk setiap klien, baik suami maupun istri.
Di antara hal dipetakan itu, isinya beragam, termasuk di dalamnya penglihatan atas suasana alam, seperti melihat matahari terbit ataupun tenggelam, mendengar gemericik air sungai, mencium aroma tanah basah, mencicip es cokelat, mengelus kucing, atau berkebun.
Berikutnya, klien diajak untuk mengalihkan kondisi tidak nyaman atau tidak enak yang dirasakannya, dengan mengalihkan pikiran pada hal-hal menyenangkan yang telah ditulis di awal.
Warga menikmati waktu santainya di Taman Pintar Berlalu Lintas Tebet Timur, Jakarta Selatan, Selasa (5/4/2022) sore.
Kegiatan menyenangkan akan memicu hormon endorfin muncul. Saat ini, terapi dengan alam kian banyak dicari karena dianggap penting dalam situasi sekarang.
Jika sebelumnya klien diminta ”menyenangkan” diri sendiri dengan hal yang disukai, berikutnya klien diminta membantu pasangannya merasakan kesenangan sesuai dengan yang diinginkan si pasangan. Selanjutnya, kedua pasangan akhirnya diharapkan bisa melakoni hal yang sama-sama mereka sukai berdua. Tentu, masih dengan berdasarkan pada peta SAI yang di awal mereka tulis.
Menariknya, dari klien Burns tadi, melihat matahari tenggelam menjadi hal yang ”menyatukan” kesenangan keduanya. Akhirnya, hal itulah yang disarankan untuk dilakukan bersama-sama guna memulihkan hubungan.
Lingkungan
Dosen Psikologi Universitas Brawijaya, Malang, Intan Rahmawati, mengatakan, upaya memanfaatkan alam untuk penyembuhan psikis seseorang disebut sebagai ekoterapi. Terapi ini tidak terbatas pada bepergian atau berlibur di alam terbuka, tetapi lebih jauh juga bisa dengan cara memanjat pohon, jalan pagi, melihat matahari terbit dan tenggelam, merawat kucing, dan sebagainya.
”Intinya adalah kegiatan menyenangkan akan memicu hormon endorfin muncul. Saat ini, terapi dengan alam kian banyak dicari karena dianggap penting dalam situasi sekarang,” kata Intan.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2018%2F05%2F29%2F9f086f11-1e89-40ba-95a6-3f47c605afde_jpg.jpg)
Warga Kampung Adat Waerebo, yang berada di lembah yang dikelilingi pegunungan di kawasan Satar Mese Barat, Manggarai, NTT, membawa kayu bakar sepulang dari merawat kebun, Kamis (8/2/2018).
Tujuan dari terapi alam ini, menurut Intan, dimulai dengan mengembalikan rasa potensi diri, dan membangun lagi interaksi dengan individu lain (interaksi sosial), sehingga dia merasa hidup.
”Ekoterapi ini bukan berarti kita harus piknik atau pergi jauh ke suatu tempat. Namun, semua bisa ada di sekitar kita. Healing itu bukan berarti harus pergi ke gunung atau ke tempat-tempat lain. Namun, melakukan aktvitas menyenangkan yang membuat kita merasa nyaman dan lebih baik,” kata Intan.
Ia menambahkan, bukan gangguan mental berat saja yang bisa diarahkan untuk terapi psikologis berbasis alam. Stres kecil harian pun bisa disembuhkan meski hanya dengan melihat keindahan matahari tenggelam.
Komentar
Posting Komentar